Kumpulan Makalah Keperawatan

Kamis, 21 Oktober 2010

CIDERA KEPALA

BAB I
LANDASAN TEORI

1.1.    DEFINISI CIDERA KEPALA
Cidera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus.
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognonis selanjutnya.
Tindakan resusitasi (rangsang jantung), anamnesis (riwayat orang sakit dan penyakitnya pada masa lalu, atau mengenal sejarah suatu penyakit sampai ke titik dimana catatan itu diambil agar dapat ditegakkan diagnosa yang tepat untuk kepentingan terapi), dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cidera kepala menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.
Cidera kepala dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat. Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak ada kriteria cidera sedang dan berat. Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cidera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.
Cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cidera:
1.      Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter
·     Trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
 Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
·     Taruma tembus: (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya)
2.      Keparahan cidera
-      Ringan       : Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15
-      Sedang      : GCS 9 – 13
-      Berat         : GCS 3 – 8
3.      Morfologi
-      Fraktur tengkorak: kranium, linear/stelatum, depresi/non depresi, terbuka/tertutup.
Basis: dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII.
-      Lesi Intrakranial: Fokal, Epidural, Intraserebral
Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus.
Dalam banyak aspek, pengelolaan cidera kepala pada anak serupa dnegan dewasa. Namun dalam beberapa hal sedikit berbeda atau sangat khusus. Anak-anak terutama yang berusia 2 tahun ke bawah rentan terhadap komplikasi dan sekuele berat setelah cidera kepala berat. Banyak dari komplikasi tersbut berkaitan dengan cidera sekunder otak seperti edema, hiperemia, hipoksia.
Mekanisme cidera kepala berat berupa dengan dewasa, namun anak yang tertabrak kendaraan 3 kali lebih sering dari dewasa. Kecelakaan sepeda juga sering, namun akibat jatuh tidak sesering dewasa. Walau begitu, derajat kerusakan yang diakibatkan oleh jatuh tidak sama dengan dewasa.

1.2.    TANDA DAN GEJALA CIDERA KEPALA BERAT
A.    Gejala
Merasa lemah, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah atau normal perubahan frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian, inkontenensia kandung kemih / khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah, dan mengalami perubahan selera makan / minum, kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan, sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, trauma baru karena kecelakaan konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.

B.     Tanda
Cidera kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu:
-
Perubahan kesadaran
-
Depresi
-
Latergi
-
Muntah (mungkin proyektif)
-
Ataksia atau cara berjalan tidak
Tetap
-
Gangguan menelan

-
Perubahan kesadaran sampai koma
-
Cidera orthopedic

-
Kehilangan tonus otot
-
Perubahan status mental
-
Cemas
-
Perubahan pupil
-
Mudah tersinggung
-
Kehilangan penginderaan
-
Delirium (suatu kondisi dimana
kesadaran menjadi kabur dan
disertai ilusi atau halusinasi)
-
Kejang

-
Kehilangan sensasi sebagian tubuh


-
Agitasi
-
Wajah menyeringi
-
Bingung
-
Respon menarik pada rangsang
-
Perubahan pola nafas
-
Nyeri yang hebat
-
Nafas bunyi rochi
-
Gelisah
-
Fraktur atau dislokasi
-
Gangguan rentang gerak
-
Gangguan penglihatan
-
Gangguan dalam regulasi suhu tubuh
-
Gangguan kognitif



-
Afasia motoris atau sensoris


-
Bicara tanpa arti disartria anomia




1.3.    ETIOLOGI CIDERA KEPALA BERAT
Menurut Hudak dan Gallo (1996: 108) mendeskripsikan bahwa penyebab cidera kepala adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1.      bTrauma Primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).
2.      Trauma Sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.

1.4.    PATOFISIOLOGI CIDERA KEPALA BERAT
Trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural, subdura maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang kelenjar Pitultary dan Steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang.

1.5.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.
2.      Foto tengkorak atau cranium
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
3.      MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang elektomagnetik.
4.      Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.

1.6.    KOMPLIKASI CIDERA KEPALA BERAT
1.      Kebocoran cairan cerebrospinal, dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2 – 6 % pasien dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbai dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis masih kontoversial. Otorea atau rinorea cairan cerebrospinal yang menentap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif.
2.      Fistel Karotis-Kavernosusu, ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan bruit orbital dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera. Anglografi diperlukan untuk konformasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
3.      Diabetes Inspicidus, dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin (pitressin) 5 – 10 unit intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4 – 6 jam atau desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 – 4 mg setiap 12 jam, diberikan untuk mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam, dan volume diganti dengan cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada berat ringannya hipernatremia.
4.      Kejang Pascatrauma, dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predesposisi untuk kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala tertutup adalah 5 %; resiko mendekati 20 % pada pasien dengan perdarahan intrakranial ayau fraktur depresi.
5.      Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.
6.      Meningitis Ventrikulitis
7.      Infeksi saluran kemih
8.      Perdarahan gastrointestinal
9.      Sepsis asam negatif
10.  Kebocoran CSS

1.7.    PENATALAKSANAAN
1.      Pemeriksaan Fisik
Hal penting yang pertama kali dinilai adalah status fungsi vital dan status kesadaran pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
a.       Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai adalah:
-      Jalan nafas
-      Pernafasan
-      Nadi dan tekanan darah, sirkulasi jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofuring, diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury), Jamb dengan kepala dibawa atau trauma tengkuk. Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa:
·     Pernafasan cheyne stokes
·     Pernafasan blot / hiperventilasi
·     Pernafasan taksik yang menggambarkan makin memburuknya tingkat kesadaran.
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intracranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
2.      Status kesadaran, dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama pada kasus cidera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa; stulah apatik, samnolen, spoor, coma. Sebaliknya dihindari atau disertai dengan penilaian / perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan skala koma Galsgow. Cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan baik oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini, perkembangan / perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat.
Skala koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian / pemeriksaan atas tiga parameter, yaitu:
a.       Buka Mata (E)
4 : Spontan
3 : Dengan perintah
2 : Dengan rangsang nyeri
1 : Tidak ada reaksi
b.      Respon Motorik Terbaik (M)
6 : Mengikuti perintah
5 : Melokalisir nyeri
4 : Menghindari nyeri
3 : Fleksi abnormal
2 : Ekstensi abnormal
1 : Tidak ada gerakan
c.       Respon Verbal Terbaik (V)
5 : Orientasi baik dan sesuai
4 : Disorientasi tempat dan waktu
3 : Bicara kacau
2 : Mengerang
1 : Tidak ada suara
3.      Status Neurologik lain
Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis trauma ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intracranial. Tanda fokal tersebut adalah:
-      Anisokori (ketidaksamaan ukuran diameter kedua pupil mata)
-      Paresis / Parahisis (Paralisis ringan atau tidak lengkap)
-      Reties patologik sesisi

1.8.    PENGOBATAN
1.      Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir, dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Jika perlu dipasang pipa naso / orofaring dari pemberian oksigen. Infuse dipasang terutama untuk membuka jalur intravena: gunakan cairan NaCl 10,9 % atau Dextose In Saline.
2.      Mengurangi edema otak, yaitu:
-      Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan PeOH darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah, selain itu juga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis.
-      Cairan hiperosmoler digunakan cairan Monitol 15 % atau infuse untuk menarik air dari ruang intrase ke dalam ruang intravaskuler lalu dikeluarkan melalui Deuresis.
-      Kortikosteroid untuk menstabilkan darah otak.
-      Barbiturat untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun.
3.      Obat-obatan Nootropik
-      Piritinol merupakan senyawa mirip perioksin (Vit-B6) mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel.
-      Piracetum merupakan senyawa mirip GABA – suatu neurotransmitter penting di otak.
-      Citicholine, merupakan koenzim pembentukan lecitin di otak untuk sintesis membra sel dan neurotransmitter di dalam otak.
-      Perawatan luka dan pencegahan dekubitus.
-      Antibiotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang luas, trauma tembus kepala, fraktur tengkorak yang dapat menyebabkan liquarihoe.





DAFTAR PUSTAKA


-     Arief, M, Suprohaitta, Wahyu, J.K, Wiewik S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Media Aesculapius FKUI : Jakarta.

-     Mc. Closkey, Joanne C. PHD, RN, FAAN, Bu Lechec Gloria, M, PhD, FAAN 2007. Diagnosa Keperawatan NOC-NIC INC : St. Louis


-     Saani, Syaiful. 2007. Cedera Kepala Pediatrik Berat Pertimbangan Khusus

-     Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medika


Tidak ada komentar:

Posting Komentar